Info&tanya jawab

Minggu, 13 Januari 2019

Buka Hoku: Seremonial Mengantar Nogo Ema

Foto: Tobias Ruron

Seremonial adat "Buka Hoku" di Lamaruro Ritapuken dilakukan sebagai wujud syukur dan ucapan terima kasih kepada pemilik kehidupan. Dikisahkan, "Nogo Ema" sebagai seorang anak dara yang telah mengorbankan dirinya dalam rupa padi, jagung dan lainnya. Ini dilakukannya demi mempertahankan kelangsungan hidup banyak orang di muka bumi, terutama bagi masyarakat adat Desa Painapang Kecamatan Lewolema dan sekitarnya.
Seremonial "Buka Hoku" digelar sebagai langkah awal mengantar "Nogo ema" ke sebuah tempat, dalam hal ini kebun, yang dipercaya menjadi lokasi persembahan diri seutuhnya untuk memenuhi harapan dan cinta pada keluarga dan penghuni desa lainnya.
Walaupun Nogo Ema telah tiada dengan balutan cerita masing masing, masyarakat adat yang mempercayai tradisi meyakini penuh bahwa Nogo Ema selamanya tetap hidup. Hal ini ditandai dengan tetap adanya hasil padi dan lainnya yang setidaknya masih memberikan nafas kehidupan bagi pengghuni desa. Seremonial tahunan ini tetap dijalankan. Tentu apa yang dilakukan ini tidak secara kebetulan ataupun dongeng belaka, namun ini terwujud dari tradisi yang panjang.
Perempuan, dalam hal ini Nogo Ema adalah ibu kehidupan. Hal ini terpatri jelas dalam diri Nogo Ema. Untuk itu layak diberi penghargaan. Penghargaan itu diwujudnyatakan dalam tindakan nyata dengan menjalankan semua rangkaian ritual mulai dari persiapan membuka kebun, menanam, memanen hingga akhirnya dibawah pulang lagi ke lumbung/hoku.
Setiap rangkaian adat berkaitan dengan Nogo Ema mempunyai ciri khas masing masing. Misalnya dalam "Buka Hoku" ini sebelum dijalankan ritual, seorang perempuan dewasa/ema (mama) diselimuti dengan sarung adat dengan berbaju senuji duduk memangkuh Nogo Ema yang di manifestasikan dalam benih padi yang akan ditanam, juga buah kelapa yang disimpan dalam sebuah wadah.
Setelah dijalankan ritual, selanjutnya Nogo Ema atau anak dara yang dimanifestasikan dalam bentuk padi dan buah kelapa ini di gotong oleh seorang pria dan disimpan dalam hoku atau lumbung tempat Nogo Ema mendiamkan diri dalam sepi seblum bersemayam dalam keheningan sendiri dibungkus tanah pada keesokan harinya
Setelah itu, seorang anak gadis dalam suku yang ditugaskan untuk menjalankan peran sebagai Nogo Ema menerima benih padi dan buah kelapa yang disimpan dalam wadah di dalam lumbung lalu menjaganya. Ia pun menyantap sesajian "rengki" sembari keesokan harinya diantar ke kebun tempat memadu cinta. Cinta yang tak akan luntur ditengah hingar bingar gejolak atau era globalisasi ataupun mereka yang telah memalingkan diri.
Sebagai wujud penghargaan pula akan cinta tulusnya, maka di saat benih padi dalam hal ini Nogo Ema mulai dari bersemayam rindu dalam tanah, tumbuh dan menguning maka ada pantangan atau muruk nebe yang sepatutnya di jalankan oleh masyarakat adat. Misalnya tidak boleh membuat bunyi bunyian, tidak boleh berkata kotor di kebun, tidak boleh mengurus adat khususnya yang mau nikah dan lainnya. Tujuannya adalah bagaimana menghargai sebuah pengorbanan. Pengorbanan yang telah dilakukan oleh Nogo Ema sang perempuan hebat ini.
Nogo Ema tidak menuntut banyak akan pengorbanan yang dilakukannya. Ia ikhlas. Cukup kita memampukan diri dengan mengingat dan menghargai akan ketulusannya dengan menjalankan setiap ritual dan menghargai bahwa Nogo Ema adalah seorang perempuan. Perempuan dengan naluri keibuannya hingga akhirnya menyerahkan diri. Itupun kalau kita meyakini dengan penuh kesadaran.
Jangan pernah tinggalkan adat. Walau dasyatnya arus global menerjang dan merambat di setiap dimensi kehidupan. Tradisi dan kepercayaan ini setidaknya tetap diawetkan. Tetap melakukan tradisi adat walau di stempel dengan kata kafir sekalipun. Toh esensi agama dan kepercayaan ini tujuan luhurnya sama.
Dore lau kae ono rae pai pe eka kehuli. Bersahabatlah dengan alam sehingga alam juga bersahabat dengan kita. Bersahabat dengan alam tidaklah mahal amat. Salah satu caranya dengan memperhatikan dan menjalankan ritual. Dengan nei uma lamak rae ile, lau wata, lewo, suku, lango uma, pau lei lima, ata rae rae dan toi ata ata mae hena. Ini pesan dari Bapa Kesu Ruron. (Teks: Tobias Ruron)

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar