Foto: Tobias Ruron |
Seremonial
adat "Buka Hoku" di Lamaruro Ritapuken dilakukan sebagai wujud syukur
dan ucapan terima kasih kepada pemilik kehidupan. Dikisahkan, "Nogo
Ema" sebagai seorang anak dara yang telah mengorbankan dirinya dalam rupa
padi, jagung dan lainnya. Ini dilakukannya demi mempertahankan kelangsungan
hidup banyak orang di muka bumi, terutama bagi masyarakat adat Desa Painapang
Kecamatan Lewolema dan sekitarnya.
Seremonial
"Buka Hoku" digelar sebagai langkah awal mengantar "Nogo
ema" ke sebuah tempat, dalam hal ini kebun, yang dipercaya menjadi lokasi
persembahan diri seutuhnya untuk memenuhi harapan dan cinta pada keluarga dan
penghuni desa lainnya.
Walaupun
Nogo Ema telah tiada dengan balutan cerita masing masing, masyarakat adat yang
mempercayai tradisi meyakini penuh bahwa Nogo Ema selamanya tetap hidup. Hal
ini ditandai dengan tetap adanya hasil padi dan lainnya yang setidaknya masih
memberikan nafas kehidupan bagi pengghuni desa. Seremonial tahunan ini tetap
dijalankan. Tentu apa yang dilakukan ini tidak secara kebetulan ataupun dongeng
belaka, namun ini terwujud dari tradisi yang panjang.
Perempuan,
dalam hal ini Nogo Ema adalah ibu kehidupan. Hal ini terpatri jelas dalam diri
Nogo Ema. Untuk itu layak diberi penghargaan. Penghargaan itu diwujudnyatakan
dalam tindakan nyata dengan menjalankan semua rangkaian ritual mulai dari
persiapan membuka kebun, menanam, memanen hingga akhirnya dibawah pulang lagi
ke lumbung/hoku.
Setiap
rangkaian adat berkaitan dengan Nogo Ema mempunyai ciri khas masing masing.
Misalnya dalam "Buka Hoku" ini sebelum dijalankan ritual, seorang
perempuan dewasa/ema (mama) diselimuti dengan sarung adat dengan berbaju senuji
duduk memangkuh Nogo Ema yang di manifestasikan dalam benih padi yang akan
ditanam, juga buah kelapa yang disimpan dalam sebuah wadah.
Setelah
dijalankan ritual, selanjutnya Nogo Ema atau anak dara yang dimanifestasikan
dalam bentuk padi dan buah kelapa ini di gotong oleh seorang pria dan disimpan
dalam hoku atau lumbung tempat Nogo Ema mendiamkan diri dalam sepi seblum
bersemayam dalam keheningan sendiri dibungkus tanah pada keesokan harinya
Setelah
itu, seorang anak gadis dalam suku yang ditugaskan untuk menjalankan peran
sebagai Nogo Ema menerima benih padi dan buah kelapa yang disimpan dalam wadah
di dalam lumbung lalu menjaganya. Ia pun menyantap sesajian "rengki"
sembari keesokan harinya diantar ke kebun tempat memadu cinta. Cinta yang tak
akan luntur ditengah hingar bingar gejolak atau era globalisasi ataupun mereka
yang telah memalingkan diri.
Sebagai
wujud penghargaan pula akan cinta tulusnya, maka di saat benih padi dalam hal
ini Nogo Ema mulai dari bersemayam rindu dalam tanah, tumbuh dan menguning maka
ada pantangan atau muruk nebe yang sepatutnya di jalankan oleh masyarakat adat.
Misalnya tidak boleh membuat bunyi bunyian, tidak boleh berkata kotor di kebun,
tidak boleh mengurus adat khususnya yang mau nikah dan lainnya. Tujuannya
adalah bagaimana menghargai sebuah pengorbanan. Pengorbanan yang telah
dilakukan oleh Nogo Ema sang perempuan hebat ini.
Nogo
Ema tidak menuntut banyak akan pengorbanan yang dilakukannya. Ia ikhlas. Cukup
kita memampukan diri dengan mengingat dan menghargai akan ketulusannya dengan
menjalankan setiap ritual dan menghargai bahwa Nogo Ema adalah seorang
perempuan. Perempuan dengan naluri keibuannya hingga akhirnya menyerahkan diri.
Itupun kalau kita meyakini dengan penuh kesadaran.
Jangan
pernah tinggalkan adat. Walau dasyatnya arus global menerjang dan merambat di
setiap dimensi kehidupan. Tradisi dan kepercayaan ini setidaknya tetap
diawetkan. Tetap melakukan tradisi adat walau di stempel dengan kata kafir
sekalipun. Toh esensi agama dan kepercayaan ini tujuan luhurnya sama.
Dore
lau kae ono rae pai pe eka kehuli. Bersahabatlah dengan alam sehingga alam juga
bersahabat dengan kita. Bersahabat dengan alam tidaklah mahal amat. Salah satu
caranya dengan memperhatikan dan menjalankan ritual. Dengan nei uma lamak rae
ile, lau wata, lewo, suku, lango uma, pau lei lima, ata rae rae dan toi ata ata
mae hena. Ini pesan dari Bapa Kesu Ruron. (Teks: Tobias Ruron)